News  

Tunjangan DPR Rp50 Juta: Rahasia Terungkap Setelah Setahun?

Avatar of Detikcoy
Tunjangan DPR Rp50 Juta Rahasia Terungkap Setelah Setahun scaled

Geger Tunjangan Rumah DPR: Rp 50 Juta Per Bulan, Benarkah?

Polemik tunjangan rumah anggota DPR kembali mengguncang publik. Aksi demonstrasi yang berujung kericuhan pada 25 dan 28 Agustus lalu menjadi bukti nyata keresahan masyarakat. Penyebabnya? Pernyataan Wakil Ketua DPR Adies Kadir soal kenaikan tunjangan, khususnya untuk sewa rumah jabatan, yang mencapai lebih dari Rp 50 juta per bulan. Angka ini dianggap sangat tinggi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit.

Namun, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memberikan klarifikasi. Ia menjelaskan angka fantastis itu hanya berlaku selama setahun, tepatnya Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Tunjangan tersebut merupakan pengganti rumah dinas di Kalibata yang tak lagi tersedia. Artinya, bukan selama lima tahun masa jabatan anggota DPR periode 2024-2029.

“Bahwa tunjangan perumahan itu pada saat anggota DPR dilantik bulan Oktober 2024 itu, anggota DPR sudah tidak mendapatkan fasilitas perumahan di Kalibata. Sehingga dipandang perlu, untuk kemudian memberikan fasilitas rumah berupa dana untuk kontrak rumah,” jelas Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (26/8).

Dengan skema ini, setiap anggota DPR menerima Rp 600 juta selama satu tahun (12 bulan x Rp 50 juta) untuk biaya sewa rumah. Jika dirata-ratakan, setiap bulan mereka hanya menerima sekitar Rp 10 juta hingga 2029. Dasco menegaskan, setelah Oktober 2025, tunjangan tersebut akan dihentikan.

Ketua DPR Puan Maharani pun buka suara. Ia menekankan DPR tetap terbuka terhadap kritik publik. Keputusan soal tunjangan rumah, menurutnya, telah melalui kajian mendalam dan bisa dievaluasi sesuai aspirasi masyarakat.

“Dan memang ada kompensasi terkait rumah jabatan kepada anggota DPR karena anggota DPR itu kan juga datang dari daerah-daerah. Cuma itu saja yang ada perubahan, yang lainnya tidak ada perubahan,” ujar Puan.

Puan juga memastikan angka Rp 50 juta telah dikaji dengan cermat, mempertimbangkan kondisi dan harga di Jakarta. “Itu sudah dikaji dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kondisi ataupun harga yang ada di Jakarta karena kan kantornya ada di Jakarta,” tuturnya.

Sementara itu, pengamat politik Hairunnas dari Spektrum Politika Institute melihat tunjangan DPR bukan sekadar fasilitas pribadi, melainkan instrumen kerja politik.

“Tunjangan ini adalah instrumen yang memungkinkan wakil rakyat menjalankan fungsi representasi mereka dengan optimal. Idealnya, dana ini digunakan untuk menjangkau warga di setiap daerah pemilihan (Dapil) serta merumuskan kebijakan yang memiliki dampak nyata,” papar Hairunnas.

Menurut Hairunnas, polemik ini muncul karena narasi publik yang berkembang tidak sesuai fakta. Transparansi DPR perlu ditingkatkan untuk menunjukkan akuntabilitas parlemen. Komunikasi yang seimbang penting agar masyarakat memahami kebijakan ini tak mengabaikan keadilan sosial.

“Kepekaan terhadap persepsi publik harus selalu menjadi pertimbangan utama, agar kebijakan tidak hanya sah secara hukum dan administratif, tetapi juga selaras dengan rasa keadilan masyarakat,” tutup Hairunnas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *