Stok beras premium di sejumlah ritel modern beberapa waktu terakhir menipis. Namun, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman memastikan hal ini bukan indikasi kelangkaan beras. Ia menjelaskan fenomena tersebut disebabkan pergeseran distribusi, bukan penurunan produksi.
Perubahan pola distribusi ini menggeser fokus dari ritel modern ke pasar tradisional. Pabrik-pabrik kecil kini lebih banyak memasok pasar tradisional, sehingga omzet penjualan di sektor tersebut meningkat. Kondisi ini, menurut Amran, tidak memengaruhi indikator ekonomi makro seperti inflasi dan produksi beras secara keseluruhan.
“Ada pola pergeseran mengisi ruang pasar tradisional, dari pabrik kecil ke pasar tradisional,” ungkap Amran saat ditemui di kantor Perum Bulog, Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Sebelumnya, pabrik besar mendominasi pasokan beras premium ke ritel modern. Kini, sebagian pasokan dialihkan ke pasar tradisional. Amran menegaskan bahwa produksi dan ketersediaan beras nasional masih terjaga dengan baik.
“Dikatakan langka kalau produksi turun, itu langka. Tapi ini ada pergeseran,” tegasnya.
Data produksi beras nasional mendukung pernyataan Amran. Penggilingan kecil di Indonesia mampu memproduksi 116 juta ton beras, sementara produksi gabah nasional mencapai 65 juta ton. Selisih ini menunjukkan kapasitas penyerapan gabah petani lokal oleh pabrik-pabrik kecil.
Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi beras nasional hingga Oktober 2025 mencapai 31,04 juta ton. Proyeksi ini akan meningkat hingga 34 juta ton pada akhir Desember 2025.
Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu, di mana produksi beras hingga Desember 2024 hanya mencapai 20 juta ton. Kenaikan produksi ini semakin memperkuat argumentasi Menteri Amran bahwa kekosongan beras premium di ritel modern bukan disebabkan kelangkaan, melainkan pergeseran distribusi.
