Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mendesak pemerintah Indonesia untuk segera merumuskan strategi jitu menghadapi kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen terhadap produk Indonesia. Tenggat waktu yang diberikan AS hingga 1 Agustus 2025 mengharuskan Indonesia bertindak cepat dan efektif.
Said Abdullah menyoroti ketidakadilan tarif ini. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Jepang, dan Korea Selatan hanya dikenakan tarif 24 persen, sementara Thailand 36 persen. Disparitas ini menunjukkan perlunya Indonesia bernegosiasi secara agresif untuk mendapatkan perlakuan yang lebih adil.
Alasan AS menjatuhkan tarif tinggi kepada Indonesia, menurut Said, adalah karena minimnya aktivitas manufaktur perusahaan Indonesia di AS. Namun, celah negosiasi masih terbuka hingga batas waktu tersebut. Ini adalah kesempatan terakhir bagi Indonesia untuk memperbaiki posisi tawar.
Strategi Negosiasi Ulang yang Efektif
Said menekankan pentingnya pendekatan diplomasi dagang yang maksimal. Pemerintah harus membawa tawaran konkret dalam negosiasi ulang, misalnya dengan menawarkan potensi pendirian pabrik atau fasilitas manufaktur Indonesia di AS.
Menurunkan defisit perdagangan AS terhadap Indonesia juga menjadi kunci. Data BPS mencatat surplus neraca dagang Indonesia dengan AS sebesar 6,42 miliar dolar AS (sekitar Rp 104,9 triliun). Angka ini dapat menjadi modal kuat dalam perundingan.
Alternatif Pasar Ekspor dan Penguatan Multilateral
Jika negosiasi dengan AS gagal, Indonesia harus memiliki rencana cadangan. Said menyarankan eksplorasi pasar alternatif di kawasan BRICS, Eropa, Amerika Latin, dan Afrika. Produk unggulan seperti tekstil, pakaian jadi, dan komoditas lainnya perlu dipetakan ulang pasarnya.
Penguatan kerja sama multilateral melalui WTO dan G20 (tanpa AS) juga penting. Gelombang proteksionisme AS membutuhkan respons kolektif dari negara-negara lain untuk memperkuat sistem perdagangan dunia yang adil dan berbasis aturan.
Membangun blok perdagangan baru yang saling membuka akses pasar merupakan langkah strategis untuk meminimalisir dampak tarif AS. Ketergantungan pada satu negara dengan kebijakan sepihak harus dihindari. Kerjasama ini akan memberikan kekuatan tawar yang lebih besar bagi Indonesia.
Penguatan Ketahanan Dalam Negeri
Selain strategi eksternal, Said menekankan pentingnya penguatan ketahanan dalam negeri, khususnya di sektor pangan, energi, dan moneter. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan tekanan eksternal yang mungkin terjadi.
Indonesia perlu mengembangkan sistem pembayaran internasional yang tidak sepenuhnya bergantung pada dolar AS. Ketahanan pangan dan energi yang kuat akan memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang penuh ketidakpastian.
Pemerintah perlu segera membentuk tim negosiasi yang kompeten dan berpengalaman, didukung oleh riset mendalam terkait dampak tarif dan potensi alternatif pasar. Transparansi informasi kepada publik juga krusial agar masyarakat memahami langkah-langkah yang diambil pemerintah dan mendukung upaya tersebut.
Penting juga untuk melibatkan sektor swasta dalam strategi ini. Kerjasama antara pemerintah dan swasta akan menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan ini.
Kesimpulannya, menghadapi kebijakan tarif AS membutuhkan strategi terpadu yang melibatkan diplomasi, diversifikasi pasar, penguatan multilateral, dan peningkatan ketahanan ekonomi dalam negeri. Kesuksesan Indonesia dalam menghadapi tantangan ini akan sangat bergantung pada kecepatan, kesiapan, dan koordinasi antar lembaga pemerintah dan sektor swasta.