Surat perintah Panglima TNI yang melibatkan personel TNI dalam menjaga kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di sejumlah daerah telah menimbulkan kontroversi dan menuai banyak kritik. Langkah ini dianggap oleh beberapa pihak sebagai pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil dan pembagian kewenangan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia.
Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan tersebut. Ia menekankan pentingnya menjaga semangat reformasi 1998 yang mengedepankan supremasi sipil. Menurutnya, meskipun pelibatan TNI bukan ranah teknis penegakan hukum, kajian ulang perlu dilakukan untuk memastikan tidak terjadi pelemahan prinsip dasar tersebut dalam kehidupan bernegara.
Rudianto, politisi dari Fraksi NasDem, menegaskan nilai supremasi sipil (civilian supremacy) sebagai fondasi utama demokrasi pasca-reformasi. Nilai ini merupakan bagian integral dari cita-cita reformasi yang menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan konstitusi Indonesia. Ia menekankan pentingnya menghormati nilai-nilai ini sebagai bentuk penghormatan terhadap cita-cita awal reformasi.
Landasan Hukum dan Konstitusional
Rudianto menunjuk pada Pasal 24 Ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur kekuasaan kehakiman, termasuk lembaga pendukungnya seperti Kejaksaan dan Advokat. Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 juga menegaskan bahwa penegakan hukum merupakan ranah kewenangan kepolisian. Kedua pasal ini menunjukkan adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa mandat konstitusi ini menjadi dasar desain sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System) di Indonesia, yang dikenal dengan konsep Catur Wangsa: Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat. Pelibatan TNI dalam pengamanan kejaksaan, menurutnya, berpotensi mengaburkan batas-batas peran antarlembaga yang telah diatur secara konstitusional.
Potensi Pengaburan Batas Kewenangan
Pelibatan TNI dalam pengamanan kantor Kejaksaan berpotensi menimbulkan beberapa masalah. Pertama, potensi konflik kewenangan antara TNI dan Polri yang dapat mengganggu efisiensi dan efektivitas penegakan hukum. Kedua, hal ini dapat menimbulkan persepsi negatif publik terhadap netralitas TNI dan menciptakan keraguan terhadap independensi lembaga penegak hukum.
Lebih lanjut, penempatan TNI dalam konteks pengamanan dapat menginterpretasikan kurangnya kepercayaan terhadap kemampuan Polri dalam menjaga keamanan kantor Kejaksaan. Hal ini dapat melemahkan posisi dan peran Polri sebagai lembaga utama penegak hukum di Indonesia.
Perlunya Kajian Mendalam dan Solusi Alternatif
Rudianto mengajak semua pihak untuk menjaga arah penegakan hukum agar tetap berada dalam koridor nilai-nilai konstitusional. Ia menekankan pentingnya kajian yang komprehensif dan mendalam terhadap implikasi dari kebijakan pelibatan TNI dalam pengamanan kantor Kejaksaan. Kajian ini perlu melibatkan para ahli hukum, tokoh masyarakat, dan lembaga terkait untuk menghasilkan solusi alternatif yang lebih tepat dan sesuai dengan prinsip supremasi sipil.
Sebagai alternatif, perlu dipertimbangkan peningkatan kapasitas dan kemampuan Polri dalam menjamin keamanan kantor Kejaksaan. Hal ini bisa dilakukan melalui peningkatan personel, pelatihan, dan peralatan yang memadai. Dengan begitu, prinsip supremasi sipil dapat tetap dijaga dan efektivitas penegakan hukum tidak terganggu.
Secara keseluruhan, perdebatan mengenai pelibatan TNI dalam pengamanan kantor Kejaksaan mengungkap pentingnya mempertahankan supremasi sipil dan pembagian kewenangan yang jelas dalam sistem hukum Indonesia. Solusi yang bijak dan berlandaskan hukum sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas dan kepercayaan publik terhadap proses penegakan hukum.