Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di KTT BRICS 2025 merupakan momentum krusial bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya di panggung global. Dalam konteks dunia yang semakin terpolarisasi, partisipasi aktif Indonesia di forum internasional seperti BRICS menjadi strategi kunci untuk menjaga kemandirian dan pengaruhnya.
Universitas Paramadina Rektor Didik J. Rachbini menilai Indonesia berpotensi menjadi kekuatan penyeimbang yang kredibel dan independen. Dengan menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif, Indonesia bisa berperan sebagai mediator yang dipercaya berbagai pihak, mirip peran Swiss di Eropa. Ini terutama penting dalam konteks pergeseran kekuatan dunia menuju tatanan multipolar.
BRICS+, sebagai blok ekonomi baru, merepresentasikan pergeseran signifikan dalam peta kekuatan global. Lembaga internasional konvensional seperti PBB, IMF, dan WTO pengaruhnya semakin melemah. Diplomasi aktif Indonesia di negara-negara berkembang (“Global South”) dan keikutsertaan dalam forum seperti BRICS adalah langkah strategis untuk menghadapi kondisi ini.
Strategi Indonesia di Tengah Dinamika Global
KTT BRICS 2025, dengan tema “Strengthening Global South Cooperation Towards More Inclusive and Sustainable Governance”, dihadiri lebih dari 30 kepala negara dan pemimpin organisasi internasional. Kehadiran sejumlah besar pemimpin dunia ini menunjukkan pengakuan global terhadap kekuatan ekonomi BRICS yang signifikan.
Indonesia, dengan bijak, melihat peluang ini untuk membangun kerja sama ekonomi alternatif. Meskipun BRICS belum membentuk aliansi militer, kekuatan ekonominya yang besar menjadi aset penting. Dalam situasi ketegangan AS-Tiongkok, kolaborasi ekonomi dengan BRICS bisa menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan dan meningkatkan daya tawar Indonesia.
Persaingan dagang dan teknologi antara AS dan Tiongkok telah memicu deglobalisasi parsial dan munculnya proteksionisme antar blok. Namun, kondisi “polycrisis” global ini juga menawarkan peluang bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi dan mendorong industrialisasi hijau.
Potensi Indonesia dalam Industri Hijau
Indonesia memiliki potensi besar di sektor industri hijau. Cadangan nikel yang melimpah, pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik (EV), dan hilirisasi sumber daya alam menjadi fondasi kuat untuk pertumbuhan ekonomi baru. Dengan kebijakan ekonomi yang tepat, Indonesia berpeluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi melampaui target moderat (3-4 persen) menuju angka di atas 6 persen.
Selain industri, ketahanan pangan dan energi berkelanjutan juga krusial. Pemerintah telah berupaya menjaga harga gabah agar menguntungkan petani. Namun, efisiensi dan produktivitas di seluruh rantai pasokan perlu ditingkatkan agar ketahanan pangan Indonesia lebih terjamin dan tahan terhadap krisis.
Program ketahanan pangan yang dikawal langsung oleh Presiden merupakan langkah positif. Namun, reformasi menyeluruh dalam produksi dan distribusi pangan tetap dibutuhkan untuk mencapai efisiensi dan ketahanan yang optimal. Tidak cukup hanya stabil, tetapi juga efisien dan tahan krisis.
ASEAN dan Tatanan Multipolar
Indonesia dan ASEAN memiliki posisi strategis di dunia yang bergerak menuju tatanan multipolar. Populasi yang besar, pasar yang potensial, dan posisi geopolitik yang netral menjadikan kawasan ini sebagai kekuatan regional yang berpengaruh.
Keikutsertaan Presiden Prabowo di KTT BRICS menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjadi aktor, bukan penonton, di panggung global. BRICS menawarkan akses pendanaan alternatif, peluang investasi, dan kerja sama teknologi yang luas bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan strategi yang tepat dan memanfaatkan momentum global, Indonesia berpotensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dan mengambil peran lebih signifikan dalam menentukan arah dunia. Partisipasi aktif dalam forum global seperti BRICS merupakan langkah penting dalam mewujudkan potensi tersebut.