Raja Ampat, sebuah kabupaten di Papua Barat Daya, Indonesia, kaya akan keindahan alam yang luar biasa. Keindahan laut dan hutannya telah mendunia, bahkan mendapatkan pengakuan sebagai Geopark UNESCO. Namun, di balik keindahan ini tersimpan permasalahan yang kompleks terkait pengelolaan sumber daya alamnya.
Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, baru-baru ini menyoroti pembatasan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola kekayaan alamnya. Beliau menekankan bahwa keterbatasan ini menghambat upaya pelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat yang terdiri dari 117 kampung/desa dan 24 distrik.
Kendala Pengelolaan Sumber Daya Alam di Raja Ampat
Salah satu kendala utama adalah pembatasan kewenangan dalam pengelolaan hutan. Sebanyak 97 persen wilayah Raja Ampat merupakan kawasan konservasi. Namun, ketika terjadi pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan misalnya, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat merasa kesulitan untuk berintervensi karena kewenangannya terbatas. “97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas,” ujar Bupati Burdam.
Lebih jauh lagi, bahkan kewenangan pemberian dan pencabutan izin tambang nikel pun berada di tangan pemerintah pusat di Jakarta. Hal ini membuat pemerintah daerah sulit melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan.
Dampak Pembatasan Kewenangan
Pembatasan kewenangan ini berdampak signifikan terhadap masyarakat lokal. Mereka kesulitan mengakses dan mengelola sumber daya hutan yang selama ini menjadi penyangga kehidupan mereka. Keterbatasan akses ini tentu berdampak pada kesejahteraan mereka dan pada upaya pelestarian alam secara berkelanjutan.
Hutan di Raja Ampat bukan hanya penting bagi kehidupan masyarakat lokal, tetapi juga merupakan habitat bagi berbagai spesies endemik dan langka yang perlu dilindungi. Dengan kewenangan yang terpusat di Jakarta, pemerintah dan masyarakat Raja Ampat merasa hanya menjadi penonton atas pengelolaan kekayaan alamnya sendiri.
Peran Otonomi Khusus (Otsus)
Bupati Burdam mempertanyakan efektifitas Otonomi Khusus (Otsus) dalam konteks ini. “Yang menjadi pertanyaan adalah adanya Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) itu untuk apa. Saya pikir Otsus hadir untuk memberikan keleluasaan bagi kami mengelola dan memanfaatkan potensi yang ada tanpa intervensi pihak lain,” tegasnya.
Harapannya, dengan Otsus, pemerintah daerah dapat memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sumber daya alamnya, sehingga dapat menyeimbangkan antara pelestarian alam dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Usulan Peninjauan Kebijakan
Pemerintah Raja Ampat mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat untuk meninjau kembali pembatasan kewenangan pengelolaan hutan. Mereka berharap pemerintah pusat memberikan kesempatan lebih besar bagi masyarakat lokal untuk terlibat langsung dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam lainnya.
Partisipasi masyarakat lokal yang lebih besar diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Raja Ampat secara berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dengan demikian, peninjauan kebijakan ini diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan bagi pengelolaan sumber daya alam di Raja Ampat, sekaligus melindungi keindahan alamnya untuk generasi mendatang. Ini penting karena Raja Ampat bukan hanya aset daerah, tetapi juga aset nasional bahkan internasional yang perlu dijaga kelestariannya.