Sritex Gunakan Pinjaman: Bayar Utang, Bukan Modal Kerja, Tapi Beli Tanah

oleh

Iwan Setiawan Lukminto, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit. Kasus ini melibatkan kredit senilai Rp692,9 miliar yang seharusnya digunakan sebagai modal kerja perusahaan, namun justru digunakan untuk hal lain.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, menjelaskan bahwa dana tersebut digunakan untuk membayar utang perusahaan kepada pihak ketiga dan pembelian aset tetap berupa tanah di beberapa lokasi, termasuk Yogyakarta dan Solo. Penggunaan dana kredit yang menyimpang ini dinilai telah merugikan keuangan negara.

Kejagung menemukan bahwa pemberian kredit kepada PT Sritex dilakukan secara melawan hukum karena tidak melalui analisis yang memadai dan mengabaikan prosedur serta persyaratan yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan adanya potensi pelanggaran serius dalam proses pencairan kredit.

Kronologi dan Detail Kasus

Iwan Setiawan Lukminto, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Sritex periode 2005-2022, diduga bertanggung jawab atas penyelewengan dana kredit tersebut. Penyelidikan menunjukkan adanya indikasi kuat bahwa ia secara sengaja mengalihkan dana kredit untuk kepentingan pribadi dan bukan untuk kepentingan perusahaan.

Total kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus ini mencapai Rp692,9 miliar, berdasarkan kredit yang diterima Sritex dari Bank DKI dan Bank BJB. Namun, total tagihan Sritex yang belum terlunasi mencapai angka yang jauh lebih besar, yaitu sekitar Rp3,5 triliun, yang berasal dari berbagai bank, baik bank pemerintah maupun swasta. Ini menunjukkan skala kerugian yang jauh lebih besar dari yang awalnya terungkap.

Peran Pihak Lain yang Terlibat

Selain Iwan Setiawan Lukminto, Kejagung juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu mantan Dirut Bank DKI, Zainuddin Mappa, dan mantan pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, Dicky Syahbandinata. Mereka diduga turut terlibat dalam proses pemberian kredit yang tidak sesuai prosedur dan berpotensi merugikan negara.

Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka langsung ditahan di Rutan Salemba selama 20 hari pertama untuk proses penyelidikan lebih lanjut.

Implikasi dan Dampak Kasus

Kasus ini memiliki implikasi yang luas, tidak hanya bagi PT Sritex dan para tersangka, tetapi juga bagi sektor perbankan dan iklim investasi di Indonesia. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan yang ketat dalam penyaluran kredit, terutama untuk perusahaan berskala besar.

Kegagalan pengawasan dan prosedur yang lemah dalam pemberian kredit dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara dan merugikan kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan. Kasus ini diharapkan dapat menjadi pelajaran berharga untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem perbankan nasional.

Proses hukum yang transparan dan adil sangat penting untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Penyelidikan menyeluruh dan tuntas diharapkan dapat mengungkap semua fakta dan aktor yang terlibat dalam skandal ini, serta memberikan hukuman yang setimpal bagi para pelaku.

Analisis Lebih Lanjut

Penting untuk menyelidiki lebih dalam bagaimana pengawasan internal PT Sritex dan mekanisme persetujuan kredit di kedua bank tersebut bekerja. Apakah ada celah dalam sistem yang memungkinkan terjadinya penyelewengan dana kredit? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan.

Selain itu, perlu juga dikaji bagaimana peran dewan komisaris dan direksi dalam mengawasi pengelolaan keuangan perusahaan. Apakah ada kegagalan pengawasan yang memungkinkan terjadinya penyelewengan dana? Penting untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan perusahaan agar kasus serupa tidak terulang kembali.

Secara keseluruhan, kasus ini menjadi pengingat penting tentang betapa krusialnya pengawasan dan tata kelola yang baik dalam sektor perbankan dan korporasi di Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan reformasi sistem yang komprehensif diperlukan untuk membangun sistem keuangan yang lebih sehat dan terpercaya.